kaltim.radar24.co.id, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, melakukan kunjungan kerja ke kantor Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kalimantan Timur di Samarinda, Jumat (9/5/2025). Dalam kunjungan tersebut, Menteri Arifah menyampaikan dukungan terhadap korban kekerasan perempuan dan anak, berupa pendampingan psikologis, pemenuhan hak pendidikan, serta penyediaan tempat perlindungan.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk merealisasikan tiga program prioritas nasional PPPA: Ruang Bersama Indonesia (RBI), perluasan fungsi Call Center SAPA 129, dan penerapan Satu Data Perempuan dan Anak Berbasis Desa.
Namun, di balik semua itu, fakta lapangan menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Data dari SIMFONI PPA menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024, tercatat 1.002 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur. Kota Samarinda menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 245 kasus. Hingga Maret 2025 saja, jumlah kasus sudah mencapai 224, dan Samarinda tetap menduduki peringkat teratas dengan 50 kasus.
Kepala DKP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, dalam sebuah webinar pada September 2024 menyatakan bahwa tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki menjadi korban kekerasan. Namun, anak-anak merupakan kelompok paling rentan. Data per 31 Juli 2024 menunjukkan terdapat 569 kasus kekerasan.
Realitas ini menggambarkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual masih belum efektif. Program-program yang diluncurkan terkesan simbolis dan belum menyentuh akar permasalahan. Perlindungan terhadap perempuan dan anak seharusnya menjadi prioritas nyata, bukan sekadar formalitas demi menunjukkan eksistensi kementerian.
Masalah kekerasan seringkali berasal dari lingkungan terdekat: ayah kandung, ayah tiri, kakek, bahkan tetangga. Ini menunjukkan rusaknya sistem keluarga sebagai pelindung utama. Ditambah lagi, pengaruh negatif pornografi di media sosial turut mendorong meningkatnya kasus pelecehan, di mana anak-anak menjadi objek dari nafsu yang seharusnya diarahkan secara halal dalam ikatan pernikahan.
Solusinya tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga negara. Pemerintah harus berani memblokir situs-situs pornografi dan memperkuat pendidikan karakter berbasis keimanan. Keluarga perlu dikembalikan ke fungsinya sebagai pelindung moral dan fisik anak. Lingkungan masyarakat juga harus berperan aktif dalam menciptakan rasa aman.
Negara harus hadir dengan undang-undang tegas yang menjamin perlindungan dan keadilan bagi korban. Hukum yang diterapkan harus adil dan tidak tunduk pada kepentingan sempit. Jika semua pihak—individu, keluarga, masyarakat, dan negara—menjalankan fungsinya dengan baik, maka angka kekerasan terhadap perempuan dan anak akan bisa ditekan.
(Uzin)