Muara Wahau – Ketika sebagian besar perempuan memilih profesi yang dianggap aman, Hj. Lusmawati, S.Pd justru menempuh jalan berbeda. Dari seorang guru yang setiap hari mengajar di kelas, ia bertransformasi menjadi Komandan Pos (Danpos) Pemadam Kebakaran (Damkar) Muara Wahau, Kutai Timur. Kini, ia dikenal sebagai sosok perempuan tangguh yang memimpin barisan penyelamat api di wilayah pedalaman Kutim.
Perjalanan Lusmawati bukan tanpa cerita. Ia memulai karier sebagai guru pada tahun 2004. Selama 14 tahun, papan tulis dan spidol adalah kesehariannya. Namun, pada 1 November 2018, ia mengambil keputusan besar: bergabung dengan Damkar. Bagi banyak orang, langkah itu mengejutkan. Namun bagi Lusmawati, itu adalah panggilan hati.
“Pernah kami berjibaku melawan api dari pukul 01.00 dini hari hingga 05.30 pagi. Panas, lelah, tapi kami tidak bisa menyerah,” tuturnya sambil mengenang.
Bagi Lusmawati, api hanyalah satu dari sekian tantangan. Lebih sulit lagi adalah menghadapi kepanikan masyarakat di lapangan. “Kadang sirine sudah dibunyikan, tapi jalan tak juga diberi. Ada pula yang panik lalu berebut selang dengan petugas,” jelasnya. Situasi semacam ini membuat kerja tim Damkar tidak hanya butuh tenaga, tapi juga kesabaran dan ketegasan.
Meski begitu, ia selalu menekankan pada anggotanya tiga prinsip utama: disiplin, tanggung jawab, dan profesionalisme. Moto “Pantang Pulang Sebelum Api Padam” ia jadikan pegangan. Bukan sekadar kata-kata, melainkan semangat yang mereka jalankan setiap kali sirine berbunyi.
Di balik ketegasannya, Lusmawati tetap seorang istri dan ibu. Ia mengakui, tugas sebagai petugas Damkar penuh risiko. Namun dukungan dari keluarga, terutama suami, menjadi sumber kekuatan yang membuatnya terus bertahan. “Suami saya yang paling banyak memberi dorongan. Tanpa dukungannya, mungkin saya tidak sekuat ini,” ucapnya lirih.
Meski mengemban tanggung jawab besar, Lusmawati menyadari keterbatasan yang ada. Saat ini, Pos Damkar Muara Wahau hanya memiliki empat personel per regu, padahal idealnya enam hingga tujuh orang. Sarana dan prasarana pun masih terbatas.
“Kami butuh tambahan personel dan fasilitas agar pelayanan bisa lebih optimal. Apalagi wilayah Muara Wahau cukup luas, sehingga respon cepat sangat penting,” tegasnya.
Kisah Lusmawati membuktikan bahwa keberanian tidak mengenal gender. Dari ruang kelas, ia kini berada di garis depan memimpin tim pemadam api. Ia adalah sosok yang membalik stigma, bahwa Damkar bukan hanya milik kaum pria.
“Selama ada semangat, kami akan selalu siap. Pantang pulang sebelum api padam,” ujarnya menutup pembicaraan, dengan mata yang penuh keyakinan. (Uzin/Dedy)